Rabu, 08 Agustus 2012

EFFUSI PLEURA MALIGNA


EFFUSI PLEURA MALIGNA

A.                PENDAHULUAN

Effusi pleura adalah terkumpulnya cairan di dalam rongga pleura dengan jumlah yang lebih besar dari normal ( nilai normal 10-20 cc), sehingga dapat dinilai dengan pemeriksaan radiologis dan munculnya kelainan restriktif pada paru.
Tingkat besarnya effusi pleura ditentukan oleh faktor-faktor :
a.       Jumlah cairan yang sedemikian banyak sehingga terjadi pemburukan fungsi restriktif.
b.      Kecepatan pembentukan cairan. Makin cepat terjadi pembentukan cairan makin memperburuk keadaan penderita.
c.       Jenis cairan. Serohemorhagik lebih berbahaya dari non sero hemorhagik. Memburuknya fungsi paru ini ditentukan oleh jumlah cairan yang terbentuk dalam satuan waktu 


Untuk menggambarkan kecepatan pembentukan ini terdapat istilah effusi pleura maligna. Dimana jumlah cairan yang terbentuk jauh lebih besar dari jumlah cairan yang diabsorbsi sehingga menimbulkan kelainan fungsi restriktif selain dari pergeseran alat-alat mediastinal, pembentukan cairan ini disebabkan oleh keganasan.
Bila terjadi pergeseran alat mediastinal baik yang disebabkan oleh terbentuknya cairan maupun karena aspirasi cairan, kedua keadaan dapat menimbulkan kegawatan paru.
Persoalan pokok pada penderita effusi pleura maligna adalah mengatasi penambahan  jumlah cairan yang terjadi secara massive dalam waktu singkat. Makin tinggi kecepatan pembentukan cairan pleura makin tinggi pula tingkat kegawatan yang terjadi. Para penyelidikan juga membuktikan bahwa pembentukan cairan pleura karena tumor ganas baik metastasis ataupun primer dari pleura merupakan tanda prognosa yang buruk.

B.                 ETIOLOGI

Sebagian besar penyebab dari effusi pleura maligna ditimbulkan oleh tumor ganas paru, dan dapat disebabkan pula oleh berbagai penyakit antara lain infeksi (TBC, virus, parasit, jamur atau berbagai kuman lainnya). Sedangkan secara teoritis dapat timbul oleh karena malnutrisi, kelainan sirkulasi limphe, trauma thorak, infeksi pleura, sirosis hepatis, meigh syndrome, sub phrenic abses, vena cava superior syndrome, SLE, rheumatoid artritis dan radioterapi mediastinal serta berbagai sebab yang belum jelas (idiopatik).
Dari berbagai penyebab ini keganasan merupakan sebab yang terpenting ditinjau dari kegawatan paru dan angka ini berkisar antara 43-52 %. Berdasarkan jenis tumornya bisa karena tumor primernya atau metastasis dari tempat lain. Tumor-tumor primer lebih jarang menyebabkan effusi pleura dari pada tumor metastasis. Akan tetapi bila terdapat mesotelioma sebagian besar akan menyebabkan effusi pleura maligna.
Tumor-tumor pleura yang sering menimbulkan cairan pleura antara lain bronchogenig ca, ca mamma, limphoma atau tumor-tumor dari tempat lain seperti colon, rectum, abdomen, cervic, renal, kelenjar adrenal, pankreas, esophagus, thyroid, testis, osteogenic sarcoma dan multiple myeloma.

C.                 PATOGENESIS

Patogenesis terbentuknya effusi pleura  dapat dibagi antara lain:
1.      Non Malignancy
Dalam keadaan fisiologi cairan pleura berkisar antara 10-20 cc dan cairan ini bervariasi pada latihan fisik. Sedangkan tekanan hidrostatik intra pleura adalah minus 5 cm H2O. Menurut teori driving pressure adalah sama dengan perbedaan tekanan hidrostatik ( tekanan intra pleura dikurangi tekanan hidrostatik kapiler dikurangi dengan tekanan hidrostatik antara kapiler dan tekanan ini besarnya 6 cmH2O). Jadi dasar pembentukan cairan ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan osmotik.
Pada pleura visceralis terjadi sebaliknya dimana perbedaan tekanan osmotik lebih besar dari pada tekanan hidrostatik. Pada pleura visceralis terjadi pengisapan cairan dengan kekuatan pengisapan sama dengan perbedaan tekanan osmotik intra kapiler dan intra pleura (reabsorbsion pressure 9 mmHg)
Sebagaimana diketahui tekanan hidrostatik intra kapiler pada pleura parietalis 30 mmHg, tetapi tekanan hidrostatik kapiler pada pleura visceralis  11 mmHg. Sedangkan faktor yang lain dapat dianggap konstan , yakni tekanan hidrostatik intra pleura 5 mm Hg, tekanan osmotik intra pleura 6 mmHg dan tekanan osmotik intra kapiler 32 mmHg. Dengan perkataan lain di pleura parietalis berlaku rumus:
      PD       = (PHC-PHP)-(POC-POP)
                  = (30-(-5)-(32-6)
                  = 9 cmH2O
Pada pleura visceralis :
      PD       = (11-(-5)-(321-6)
                  = - 10 cmH20
Secara teoritis pembentukan cairan dapat dibagi atas :
A.    Eksudat
a.       Permeabilitas kapiler pleura bertambah
b.      Pengaliran cairan limphe rongga pleura terhambat
B.     Transudat, yang terdapat pada :
a.       Bendungan sistemik dari arteri pulmonalis
b.      Hipoproteinemia disertai merendahnya koloid osmotik plasma
c.       Tekanan intra pleura yang sangat negatif
d.      Perembesan transudat intra peritoneal melalui sistem limpha dan menembus diaphragma ke rongga pleura.
2.      Effusi pleura maligna
Pada effusi pleura maligna faktor-faktor fisiologis ini tidak lagi dapat diperhitungkan oleh karena faktor mekanisme pembentukan cairan memberikan gambaran patologis :
a.       Erosi pembuluh darah dan pembuluh limphe
b.      Obstruksi pembuluh darah atau pembuluh limphe
c.       Effusi oleh karena skunder infeksi dari tumor
d.      Implantasi sel tumor pada pleura
Pembentukan cairan yang demikian menyebabkan cairan cepat terkumpul dan bertambah dimana terbentuk secara massive.


D.                DIAGNOSA

Diagnosa dari effusi pleura ditegakkan atas dasar keluhan dari penderita dan dapat dibedakan atas
1.      Riwayat Penyakit, dimana terdapat :
a.       Keadaan uum yang lemah
b.      Terdapatnya dispneu
c.       Terdapatnya rasa nyeri dada
d.      Suhu tubuh yang tidak tetap
2.      Pemeriksaan Fisik yang ditandai dengan :
a.       Hemithorak yang kurang bergerak
b.      Vocal fremitus berkurang
c.       Perkusi redup
d.      Suara pernafasan menghilang
Secara teoritis dapat pula ditentukan garis Ellis Damoiseu, namun pemeriksaan rontgen laebih dapat memberikan tanda-tanda yang pasti. Pada gambaran radiologis ditemukan gambaran perselubungan, ruang antar iga yang melebar dan desakan pada alat mediastinum. Disamping tanda yang pasti adanya meniskus pada permukaan cairan dan dapat dibuktikan terdapatnya pergeseran cairan pada photo lateral decubitus.
Di samping itu kadang-kadang suatu massa tumor memberikan gambaran Golden S sign, dimana permukaan conveks sedangkan meniscus cairan memberikan gambaran konkaf. Bentuk dimana didapatkan bayangan cairan pleura sering sukar dibedakan dengan atelektasis lebih-lebih terdapat atelektasis dan cairan pleura bersama-sama yang memberikan gambaran radiologis yang tak jarang pada kanker paru  yang tumbuh intra luminer.
3.      Pleura punctie
Dapat memastikan adanya cairan dalam pleura dan jenis cairan eksudat, transudat,hemorhagic atu pus. Walaupun tes biokimia meliputi alkalinephospatase, lacticodehidrogenase, amilase, glucosa, protein dan lemak atau pemeriksaan sedimen dari pleura yaitu eritrosit, leukosit ataupun pemeriksaan bakteriologis, akan tetapi secara makroskopis cairan ini telah dapat dilihat.
Penyebab yang pasti dari effusi pleura hanya ditegakkan atas dasar sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit dari cairan punksi maupun biopsi pleura. 

E.                 TERAPI

1.      Aspirasi cairan pleura
Punksi pleura ditujukan untuk menegakkan diagnosa effusi plura yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan. Disampng itu punksi dituukan pula untuk melakukan aspirasi atas dasar gangguan fugsi restriktif paru atau terjadinya desakan pada alat-alat mediastinal.
 Jumlah cairan yang boleh diasirasi ditentukan atas pertimbangan keadaan umum penderita, tensi dan nadi. Makin lemah keadaan umm penderita makin sedikit jumlah cairan pleura yang bisa diaspirasi untuk membantu pernafasan penderita.
Komplikasi yang dapat timbul dengan tindakan aspirasi :
a.       Trauma
Karena aspirasi dilakukan dengan blind, kemungkinan dapat mengenai pembuluh darah, saraf atau alat-alat lain disamping merobek pleura parietalis yang dapat menyebabkan pneumothorak.
b.      Mediastinal Displacement
Pindahnya struktur mediastinum dapat disebabkan oleh penekaran cairan pleura tersebut. Tetapi tekanan negatif saat punksi dapat menyebabkan bergesernya kembali struktur mediastinal.  Tekanan negatif yang berlangsung singkat menyebabkan pergeseran struktur mediastinal kepada struktur semula atau struktur yang retroflux dapat menimbulkan perburukan keadaan terutama disebabkan terjadinya gangguan pada hemodinamik.
c.       Gangguan keseimbangan  cairan, Ph, elektroit, anemia dan hipoproteinemia.
Pada aspirasi pleura yang berulang kali dalam waktu yang lama dapat menimbulkan tiga pengaruh pokok :
a.       Menyebabkan berkurangnya berbagai komponen intra vasculer yang dapat menyebabkan anemia, hipprotein, air dan berbagai gangguan elektrolit dalam tubuh
b.      Aspirasi cairan pleura menimbulkan tekanan cavum  pleura  yang negatif sebagai faktor yang menimbulkan pembentukan cairan pleura yang lebih banyak
c.       Aspirasi pleura dapat menimbulkan skunder aspirasi.

2.      Water Seal Drainage
Telah dilakukan oleh berbagai penyelidik akan tetapi bila WSD ini dihentikan maka akan terjadi kembali pembentukan cairan.

3.      Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan berbagai obat-obatan pada pleura effusi selain hasilnya yang kontraversi juga mempunyai efek samping. Hal ini disebabkan  pembentukan cairan karena malignancy  adalah karena erosi pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaan citostatic misalnya tryetilenthiophosporamide, nitrogen mustard, dan penggunaan zat-zat lainnya seperi atabrine  atau penggunaan talc poudrage tidak memberikan hasil yang banyak oleh karena tidak menyentuh pada faktor patofisiolgi dari terjadinya cairan pleura.

Pada prinsipnya metode untuk menghilangkan cairan pleura dapat pula menimbulkan gangguan fungsi vital . Selain aspirasi thoracosintesis yang berulang kali, dikenal ula berbagai cara lainnya yaitu :
1.      Thoracosintesis
Dapat dengan melakukan apirasi yang berulang-ulang dan dapat pula dengan WSD atau dengan suction dengan tekanan 40 mmHg
2.      Pleurodysis
Dapat dipergunakan darah atau glukosa atau dengan talc poudrage dengan tujuan untuk menghilangkan rongga pleura.
3.      Pleurectomy/ dekortikasi
Dengan tujuan untuk menghilangkan pleura, sering dilakukan pada carcinoma mamma.
4.      Memasukan bahan-bahan radioaktif
a.       Dapat digunakan Au 198 sebanyak 75-150 mc sampai dengan dosis 450 mc
b.      P32 (Cr P32O4) sebanyak 10-20n mc.
c.       Yetrium 90.
Walaupun berbagai penlitian tidak menunjukkan hasil yang baik akan tetapi pada metastase carcinoma mamma menunjukkan hasil yang lebih baik daripada carcinoma paru primer.
5.      Citostatic intra pleura.
Zat-zat yang digunakan biasanya :
a.       Mustargen 0,4 mg per kg berat badan digunakan dosis 20-40 mg dalam 100 cc larutan garam.
b.      Theothepa 20-50 mg intra pleura
c.       Atabrine 250 mg dalam 10 cc aquades
d.      Fluoro uracil dan mitomycine
6.      Radiasi
Radiasi pada tumor justru menimbulkan effusi pleura disebabkan oleh karena kerusakan aliran limphe dari fibrosis. Akan tetapi beberapa publikasi terdapat laporan berkurangnya cairan setelah radiasi pada tumor mediastinum..

LAPORAN PENDAHULUANASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ARITMIA


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ARITMIA

1.Definisi
Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada infark miokardium. Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada frekuensi dan irama jantung yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal atau otomatis (Doenges, 1999). Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel (Price, 1994). Gangguan irama jantung tidak hanya terbatas pada iregularitas denyut jantung tapi juga termasuk gangguan kecepatan denyut dan konduksi (Hanafi, 1996).

2.Etiologi
Etiologi aritmia jantung dalam garis besarnya dapat disebabkan oleh :
    1. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard (miokarditis karena infeksi)
    2. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard.
    3. Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin dan obat-obat anti aritmia lainnya
    4. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia)
    5. Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi kerja dan irama jantung
    6. Ganggguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat.
    7. Gangguan metabolik (asidosis, alkalosis)
    8. Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme)
    9. Gangguan irama jantung karena kardiomiopati atau tumor jantung
    10. Gangguan irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis sistem konduksi jantung)
  1. Pathofisiologi
Terlampir

Manifestasi klinis
      1. Perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung menurun berat.
      2. Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.
      3. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
      4. Nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
      5. demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

Pemeriksaan Penunjang
    1. EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat jantung.
    2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
    3. Foto dada : Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup
    4. Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan pompa.
    5. Tes stres latihan : dapat dilakukan utnnuk mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan disritmia.
    6. Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat mnenyebabkan disritmia.
    7. Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.
    8. Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat menyebabkan.meningkatkan disritmia.
    9. Laju sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi akut contoh endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
    10. GDA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi disritmia.

Penatalaksanaan Medis
    1. Terapi medis
Obat-obat antiaritmia dibagi 4 kelas yaitu :
      1. Anti aritmia Kelas 1 : sodium channel blocker
  • Kelas 1 A
Quinidine adalah obat yang digunakan dalam terapi pemeliharaan untuk mencegah berulangnya atrial fibrilasi atau flutter.
Procainamide untuk ventrikel ekstra sistol atrial fibrilasi dan aritmi yang menyertai anestesi.
Dysopiramide untuk SVT akut dan berulang
  • Kelas 1 B
Lignocain untuk aritmia ventrikel akibat iskemia miokard, ventrikel takikardia.
Mexiletine untuk aritmia entrikel dan VT

  • Kelas 1 C
Flecainide untuk ventrikel ektopik dan takikardi
      1. Anti aritmia Kelas 2 (Beta adrenergik blokade)
Atenolol, Metoprolol, Propanolol : indikasi aritmi jantung, angina pektoris dan hipertensi
      1. Anti aritmia kelas 3 (Prolong repolarisation)
Amiodarone, indikasi VT, SVT berulang
      1. Anti aritmia kelas 4 (calcium channel blocker)
Verapamil, indikasi supraventrikular aritmia
    1. Terapi mekanis
      1. Kardioversi : mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan disritmia yang memiliki kompleks GRS, biasanya merupakan prosedur elektif.
      2. Defibrilasi : kardioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan gawat darurat.
      3. Defibrilator kardioverter implantabel : suatu alat untuk mendeteksi dan mengakhiri episode takikardi ventrikel yang mengancam jiwa atau pada pasien yang resiko mengalami fibrilasi ventrikel.
      4. Terapi pacemaker : alat listrik yang mampu menghasilkan stimulus listrik berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekuensi jantung.

Pengkajian
    1. Riwayat penyakit
  • Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi
  • Riwayat IM sebelumnya (disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit katup jantung, hipertensi
  • Penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti aritmia lainnya kemungkinan untuk terjadinya intoksikasi
  • Kondisi psikososial
    1. Pengkajian fisik
      1. Aktivitas : kelelahan umum
      2. Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit warna dan kelembaban berubah misal pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila curah jantung menurun berat.
      3. Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut, menolak,marah, gelisah, menangis.
      4. Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual muntah, peryubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit
      5. Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.
      6. Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
      7. Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
      8. Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan
Diagnosa keperawatan dan Intervensi
Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan konduksi elektrikal, penurunan kontraktilitas miokardia.
Kriteria hasil :
      1. Mempertahankan/meningkatkan curah jantung adekuat yang dibuktikan oleh TD/nadi dalam rentang normal, haluaran urin adekuat, nadi teraba sama, status mental biasa
      2. Menunjukkan penurunan frekuensi/tak adanya disritmia
      3. Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan kerja miokardia.
Intervensi :
      1. Raba nadi (radial, femoral, dorsalis pedis) catat frekuensi, keteraturan, amplitudo dan simetris.
      2. Auskultasi bunyi jantung, catat frekuensi, irama. Catat adanya denyut jantung ekstra, penurunan nadi.
      3. Pantau tanda vital dan kaji keadekuatan curah jantung/perfusi jaringan.
      4. Tentukan tipe disritmia dan catat irama : takikardi; bradikardi; disritmia atrial; disritmia ventrikel; blok jantung
      5. Berikan lingkungan tenang. Kaji alasan untuk membatasi aktivitas selama fase akut.
      6. Demonstrasikan/dorong penggunaan perilaku pengaturan stres misal relaksasi nafas dalam, bimbingan imajinasi
      7. Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas dan faktor penghilang/pemberat. Catat petunjuk nyeri non-verbal contoh wajah mengkerut, menangis, perubahan TD
      8. Siapkan/lakukan resusitasi jantung paru sesuai indikasi
      9. Kolaborasi :
      10. Pantau pemeriksaan laboratorium, contoh elektrolit
      11. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
      12. Berikan obat sesuai indikasi : kalium, antidisritmi
      13. Siapkan untuk bantu kardioversi elektif
      14. Bantu pemasangan/mempertahankan fungsi pacu jantung
      15. Masukkan/pertahankan masukan IV
      16. Siapkan untuk prosedur diagnostik invasif
      17. Siapkan untuk pemasangan otomatik kardioverter atau defibrilator

Kurang pengetahuan tentang penyebab atau kondisi pengobatan berhubungan dengan kurang informasi/salah pengertian kondisi medis/kebutuhan terapi.

Kriteria hasil :
      1. menyatakan pemahaman tentang kondisi, program pengobatan
      2. Menyatakan tindakan yang diperlukan dan kemungkinan efek samping obat
Intervensi :
      1. Kaji ulang fungsi jantung normal/konduksi elektrikal
      2. Jelakan/tekankan masalah aritmia khusus dan tindakan terapeutik pada pasien/keluarga
      3. Identifikasi efek merugikan/komplikasiaritmia khusus contoh kelemahan, perubahan mental, vertigo.
      4. Anjurkan/catat pendidikan tentang obat. Termasuk mengapa obat diperlukan; bagaimana dan kapan minum obat; apa yang dilakukan bila dosis terlupakan
      5. Dorong pengembangan latihan rutin, menghindari latihan berlebihan
      6. Kaji ulang kebutuhan diet contoh kalium dan kafein
      7. Memberikan informasi dalam bentuk tulisan bagi pasien untuk dibawa pulang
      8. Anjurkan psien melakukan pengukuran nadi dengan tepat
      9. Kaji ulang kewaspadaan keamanan, teknik mengevaluasi pacu jantung dan gejala yang memerlukan intervensi medis
      10. Kaji ulang prosedur untuk menghilangkan PAT contoh pijatan karotis/sinus, manuver Valsava bila perlu
DAFTAR PUSTAKA
  1. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa Peter Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ; 1994.
  2. Santoso Karo karo. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1996
  3. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
  4. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
  5. Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001

CHOLELITHIASIS (BATU EMPEDU)


CHOLELITHIASIS (BATU EMPEDU)

I.                   Pengertian :
a.       Batu saluran empedu : adanya batu yang terdapat pada sal. empedu (Duktus Koledocus).
b.      Batu Empedu (kolelitiasis) : adanya batu yang terdapat pada kandung empedu.
c.       Radang empedu (Kolesistitis) : adanya radang pada kandung empedu.
d.      Radang saluran empedu (Kolangitis) : adanya radang pada saluran empedu.

II.                Penyebab:
Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein.
Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:
1.      Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan penurunan produksi empedu.
     Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:
·         Infeksi kandung empedu
·         Usia yang bertambah
·         Obesitas
·         Wanita
·         Kurang makan sayur
·         Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol
2.      Batu pigmen empedu , ada dua macam;
·         Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi
·         Batu pigmen coklat  :  bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan disepanjang saluran empedu, disertai bendungan dan infeksi
3. Batu saluran empedu
Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum didaerah vateri. Ada dugaan bahwa kelainan anatomi atau pengisian divertikula oleh makanan akan menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan ini memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.

III.             Pathofisiologi :
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya.
Faktor predisposisi yang penting adalah :
·         Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu
·         Statis empedu
·         Infeksi kandung empedu
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap dalam kandung empedu .
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam  saluran empedu dapat memegang peranan sebagian  pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi. Infeksi lebih sering sebagai akibat pembentukan batu empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan batu.

IV.             Perjalanan Batu
Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada pembentukan foto polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke leher kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus sistikus akan menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi. Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis kolesistitis akut atau kronik.

Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus dapat lewat ke doudenum atau tetap tinggal diduktus yang dapat menimbulkan ikterus obstruktif.

V.                Gejala Klinis
Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.

GEJALA AKUT
GEJALA KRONIS
TANDA :
1.      Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme
2.      Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kwadran kanan atas
3.      Kandung empedu membesar  dan nyeri
4.      Ikterus ringan

TANDA:
1.      Biasanya tak tampak gambaran pada abdomen
2.      Kadang terdapat nyeri di kwadran kanan atas
GEJALA:
1.      Rasa nyeri (kolik empedu) yang
Menetap
2.      Mual dan muntah
3.      Febris (38,5°°C)

GEJALA:
1.      Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat : abdomen bagian atas (mid epigastrium), Sifat : terpusat di epigastrium menyebar ke arah skapula kanan
2.      Nausea dan muntah
3.      Intoleransi dengan makanan berlemak
4.      Flatulensi
5.      Eruktasi (bersendawa)


VI.             Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium :
1.      Leukosit : 12.000 - 15.000 /iu (N : 5000 - 10.000 iu).
2.      Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).
3.      Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).
4.      Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena obstruksi sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara Kapilar : 2 - 6 mnt).
5.      USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya batu empedu dan distensi saluran empedu  ( frekuensi sesuai dengan prosedur diagnostik)
6.      Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu melalui ductus duodenum.
7.      PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi): Pemberian cairan kontras untuk menentukan adanya batu dan cairan pankreas.
8.      Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik) : menunjukkan adanya batu di sistim billiar.
9.      CT Scan : menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu, obstruksi/obstruksi joundice.
10.  Foto Abdomen :Gambaran radiopaque (perkapuran ) galstones, pengapuran pada saluran atau pembesaran pada gallblader.


VII.          Pengkajian
1.      Aktivitas dan istirahat:
·         subyektif : kelemahan
·         Obyektif  : kelelahan
2.      Sirkulasi :
·         Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
3.      Eliminasi :
·         Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
·         Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran kanan atas, urine pekat .
4.      Makan / minum (cairan)
Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit.
·         Tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas.
·         Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi.
·         Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn).
·         Ada peristaltik, kembung dan dyspepsia.
Obyektif :
·         Kegemukan.
·         Kehilangan berat badan (kurus).
5.      Nyeri/ Kenyamanan :
Subyektif :
·         Nyeri abdomen menjalar  ke punggung sampai ke bahu.
·         Nyeri apigastrium setelah makan.
·         Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit.
Obyektif :
Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot meregang /kaku hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan menunjukan tanda marfin (+).
6.      Respirasi :
Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak nyaman.
7.      Keamanan :
Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus , cenderung perdarahan (defisiensi Vit K ).
8.      Belajar mengajar :
Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami batu kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan pada saluran cerna bagian bawah.

Prioritas Perawatan :
a.       Meningkatkan fungsi pernafasan.
b.      Mencegah komplikasi.
c.       Memberi informasi/pengetahuan tentang penyakit, prosedur, prognosa dan pengobatan

Tujuan Asuhan Perawatan :
a.       Ventilasi/oksigenasi yang adekwat.
b.      Mencegah/mengurangi komplikasi.
c.       Mengerti tentang proses penyakit, prosedur pembedahan, prognosis dan pengobatan

Diagnosa Perawatan:
A.    Pola nafas tidak efektif sehubungan dengan nyeri, kerusakan otot, kelemahan/ kelelahan, ditandai dengan :
·         Takipneu
·         Perubahan pernafasan
·         Penurunan vital kapasitas.
·         Pernafasan tambahan
·         Batuk terus menerus

B.     Potensial Kekurangan cairan sehubungan dengan :
·         Kehilangan cairan dari nasogastrik.
·         Muntah.
·         Pembatasan intake
·         Gangguan koagulasi, contoh : protrombon menurun, waktu beku lama.

C.     Penurunan integritas kulit/jaringan sehubungan dengan 
·         Pemasanagan drainase T Tube.
·         Perubahan metabolisme.
·         Pengaruh bahan kimia (empedu)
  ditandai dengan :
·         adanya gangguan kulit.

D.    Kurangnya pengetahuan tentang prognosa dan kebutuhan pengobatan, sehubugan dengan :
·         Menanyakan kembali tentang imformasi.
·         Mis Interpretasi imformasi.
·         Belum/tidak kenal dengan sumber imformasi.
            ditandai :  . pernyataan yang salah.
                              . permintaan terhadap informasi.
                              . Tidak mengikuti instruksi.


Daftar Pustaka :

Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990, Jakarta, P: 586-588.
Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa AdiDharma, Edisi II.P: 329-330.
Marllyn E. Doengoes, Nursing Care Plan, Fa. Davis Company, Philadelpia, 1993.P: 523-536.
D.D.Ignatavicius dan M.V.Bayne, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, W. B. Saunders Company, Philadelpia, 1991.
Sutrisna Himawan, 1994, Pathologi (kumpulan kuliah), FKUI, Jakarta 250 - 251.
Mackenna & R. Kallander, 1990, Illustrated Physiologi, fifth edition, Churchill Livingstone, Melborne : 74 - 76.